Senin, 26 November 2012

KTP-nya Sudah Nasional, Masih Adakah Disparitas?

Desa dan kota adalah tempat seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Pedesaan dan Perkotaan adalah tempat kita pula sekolah dan mencari nafkah. Sampai sekarang kedua tempat tersebut masih dibedakan secara geografis. Kehidupan di pedesaan masyarakatnya tidak sebaik kehidupan di perkotaan. Sampai hari ini, hampir sebagian besar orang desa berbondong-bondong ingin hidup dan mengais rezeki di daerah perkotaan dan akibatnya terjadi urbanisasi. Kehidupan di perkotaan pada umumnya lebih baik karena fasilitas infrastrukturnya secara rata-rata memang lebih baik. Celakanya, banyak orang, khususnya anak mudanya malu hidup di daerah pedesaan, bahkan merasa malu kalau disebut wong ndeso. Menjadi orang desa dianggap kuno, sementara itu kalau hidup di kota dianggapnya menjadi manusia modern. Akibat dari semuanya itu, maka sampai saat ini terjadi gap antara kehidupan kota dan kehidupan desa, baik secara sosial maupun secara ekonomi.

Padahal secara geografis hampir terjadi di beberapa daerah jarak antara kota dan desa tidak terasa jauh lagi karena fasilitas infrastruktur jalan sudah lengkap dibangun, khususnya di jawa. Secara sosial seharusnya hak dan kewajiban masyarakat kota dan desa adalah sama, tapi karena penanganan masalah perkotaan mendapatkan porsi yang lebih besar, maka perkembangan kehidupan masyarakat di perkotaan menjadi relatif lebih baik.
Berbagai pelayanan masyarakat seperti :pelayanan pendidikan, kesehatan di kota juga lebih baik dari pelayanan untuk bidang yang sama di pedesaan. Dengan dinamikanya yang seperti itu, disparitas tersebut terjadi karena dari awal boleh dikata telah diperlakukan berbeda antara kota dan desa. Andaikata dari mula perlakuan terhadap kota dan desa dibuat sama, pasti perkembangan kehidupan yang terjadi di kota dan di pedesaan nyaris tidak terjadi perbedaan yang tajam seperti sekarang.
Situasinya sampai bisa memicu terjadinya permusuhan antara masyarakat perkotaan di satu pihak, dengan masyarakat pedesaan di pihak lain. Hal ini tentu tidak sehat, padahal kalau dilihat dari prosesnya, orang yang hidup di kota sebagian besar asal-usulnya dari pedesaan. Desa yang kehidupannya seperti di perkotaan tidak sedikit jumlahnya kita temu kenali di Indonesia, karena perkembangan masyarakatnya di bidang pendidikan dan cara berfikirnya berkembang dan maju, sehingga secara rata-rata kehidupannya juga mengalami kemajuan disegala bidang, baik di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Bahkan Pendapatan Daerah di kota tersebut sebagian besar di sumbang dari kegiatan masyarakat di desa yang bersangkutan, bukan berasal dari kegiatan masyarakat perkotaan. Dengan contoh ini memberikan satu jawaban bahwa bilamana masyarakat mendapat kesempatan yang sama membangun kemampuannya secara sosial dan ekonomi, maka kesempatan dan peluangnya untuk tumbuh menjadi masyarakat yang maju terbuka luas.
Selama ini masyarakat pedesaan selalu disebut sebagai masyarakat agraris dan masyarakat kota biasa disebut sebagai masyarakat yang bergerak di bidang jasa dan industri. Mestinya tidak dibedakan dengan cara yang demikian dan bahkan harusnya tidak perlu ada pembedaan karena masyarakat kota dan masyarakat desa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk tumbuh dan berkembang secara sosial dan ekonomi.
Disparitas menjadi seperti sekarang karena memang dari awal ada pembedaan perlakuan dalam konteks pembangunan kewilayahan. Padahal kota dan desa berada dalam satu wilayah, apakah wilayah propinsi maupun wilayah kabupaten/kota dalam satu propinsi. Tidak heran kemudian secara politis para kepala desa menuntut agar kewenangannya diatur secara tegas dalam sistem perundang-undangan sendiri. Oleh sebab itu, pertanyaan yang timbul adalah apakah masih perlu dalam satu wilayah antara desa dan kota dibedakan baik karena alasan politis maupun administratif. Atau justru malah tidak perlu dilakukan pembedaan lagi karena keduanya berada dalam satu teritorial yang sama dan masyarakat kota dan desa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan mandiri.

Zona kewilayahan dalam satu wilayah kekuasaan politik tidak perlu lagi dibedakan antara masyarakat kota dan desa tapi dibagi saja langsung dalam satu sistem yang pendekatannya diatur berdasarkan fungsi dari satu wilayah, misalnya zona/wilayah pemukiman, wilayah produksi, zona rekreasi, transportasi dan jalur hijau. Semoga kedepan tidak ada lagi disparitas antara masyarakat desa dan kota. Hal ini menjadi tantangan untuk generasi muda seluruh Indonesia,yakni mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk membangun daerahnya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar