Jumat, 16 Januari 2015

PENEMUAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501


Pesawat AirAsia hilang kontak dalam penerbangan dari Surabaya menuju Singapura pada Ahad pagi, 28 Desember 2014. "Wagon Air 8501 Surabaya-Singapura," kata Direktur Keselamatan dan Standar AirNav Indonesia Wisnu Darjono saat dihubungi Tempo[1]. Wisnu menuturkan pesawat dijadwalkan tiba di Singapura pukul 07.20 WIB. Namun pesawat tersebut hilang kontak sebelum perbatasan Indonesia dengan Singapura. "Sampai saat ini, belum ada kontak," ujarnya. Pesawat jenis Airbus A320-200 ini membawa 155 penumpang, terdiri atas 138 orang dewasa, 16 anak, dan 1 bayi, serta 2 pilot, 4 awak kabin, dan 1 teknisi. Pesawat diterbangkan oleh Kapten Irianto. Pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ 8501 hilang dari radar, sekitar 40 menit setelah lepas landas dari bandara Juanda, Surabaya, dengan tujuan Singapura. Pilot AirAsia QZ 8501 sebelumnya meminta ijin untuk naik dari ketinggian 32 ribu ke ketinggian 38 ribu kaki. Namun karena saat itu lalulintas penerbangan di atasnya cukup ramai, ATC belum memberikan ijin. Saat kontak terputus dengan Air Traffic Control (ATC) pesawat itu berada di sekitar Selat Karimata antara Kalimantan dan Sumatra. Pesawat hilang dari radar pukul 6.18 WIB. Otoritas penerbangan baru mengumumkan pesawat itu hilang pukul 7.55 WIB.
            Pencarian pesawat AirAsia nomor penerbangan QZ8501 yang hilang terus dilakukan. Pesawat milik Angkatan Udara diterbangkan dari berbagai lokasi untuk mencari pesawat maskapai AirAsia QZ 8501. Adapun area pencarian diperluas menjadi 200 x 250 mil laut persegi. Kepala Badan SAR Nasional, Bambang Soelistyo, mengatakan lokasi pencarian dibagi ke dalam tujuh sektor[2]. "Basarnas mengerahkan 12 kapal, Angkatan Udara menerbangkan dua pesawat Hercules, dan dua helikopter Puma. Malaysia juga ikut mengerahkan satu pesawat Hercules dan tiga kapal," kata Bambang. Ada pula empat kapal riset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dikerahkan mengingat kapal-kapal tersebut memiliki perangakt sonar yang mumpuni. Setiap kapal dan pesawat, tambahnya, telah mendapat tugas untuk meliputi sektor tertentu, seperti sekitar Pulau Bangka, Pulau Belitung, Selat Karimata, dan bagian darat Kalimantan Barat. Jejak QZ 8501 belum ditemukan. Kondisi cuaca dilaporkan sangat buruk ketika pesawat kehilangan kontak. Tawaran bantuan dari luar negeri terus berdatangan. Cina dan Australia mengerahkan kapal perangnya menuju perairan yang diduga menjadi posisi terakhir pesawat sebelum menghilang dari radar.  
Kepala Badan SAR Nasional, Bambang Soelistyo, mengaku pihaknya tidak bisa menangkap sinyal darurat pesawat AirAsia QZ 8501. Pakar dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi mengatakan hal itu lumrah terjadi jika pesawat jatuh ke laut. “Seharusnya sinyal ditangkap sistem kita dan memberikan peringatan. Namun, sampai detik ini, sinyal itu tidak tertangkap dalam sistem kita. Negara-negara tetangga sudah kita cek dan mereka juga tidak menangkap sinyal ELT (AirAsia QZ 8501),” ujar Bambang. Berbagai analisis muncul akan hilangnya pesawat air asia, mulai dari human error, faktor cuaca, maupun kerusakan dari pesawat.
Pada umumnya setiap ada kecelakaan yang menyebabkan hilangnya pesawat, walaupun dikendalikan oleh pilot yang sangat berpengalaman, namun selalu disebutkan akibat human error atau kesalahan pilot. Sementara menurut pengamat penerbangan terkemuka di dunia Geoffrey Thomas[3] mengatakan tidak selalu demikian, tapi ada kesalahan dalam pesawat itu sendiri. Menurut dia, Dia mengibaratkan bahwa pilot dalam keadaan darurat sudah berupaya untuk mendaratkan pesawatnya di atas air, namun yang terjadi pesawatnya tidak mau dikendalikan dan biasanya akan meluncur menukik masuk ke dalam air. Kasus kecelakaan AirAsia diduga mirip dengan kasus kecelakaan pesawat Air France AF447 yang jatuh di Samudra Atlantik pada 2009 saat dalam perjalanan dari Rio de Janeiro (Brasil) ke Paris (Perancis). Ketika itu, pesawat juga menghadapi cuaca buruk. Pilot berusaha menaikkan ketinggian pesawat, namun kecepatannya kurang sehingga terjadi stall atau macet pada sistem aerodinamika. Akibatnya, pesawat tidak terkendali dan jatuh ke laut menukik dalam waktu 3 menit 30 detik[4]. Menurut ahli keamanan penerbangan Australia, Des Ross, alasan kenapa pilot AirAsia QZ8501 tak meneriakkan tanda darurat 'Mayday' karena kemungkinan saat itu si juru terbang sedang sibuk mengendalikan pesawat dan mengurus atau memastikan keselamatan penumpang. "Kemungkinan, prioritas adalah agar pesawat tetap bisa terbang dan menjamin keselamatan penumpang," ujar Des Ross, seperti dimuat News.com.au[5].
Faktor cuaca diduga menjadi salah satu penyebab hilangnya AirAsia. Berdasarkan analisis peneliti sains atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Erma Yulihastin, dengan menggunakan fasilitas sistem informasi peringatan dini SADEWA, saat itu di area QZ8501 terbang, angin sedang bertiup kencang. Data satelit MTSAT juga menunjukkan sedang adanya pertumbuhan awan kumulonimbus (cumulonimbus) yang menjulang tinggi di area pesawat melintas[6]. "Hujan deras tampaknya sedang terjadi. Angin yang cukup kencang pun bertiup di wilayah tersebut. Data satelit MTSAT juga menunjukkan sedang adanya pertumbuhan awan kumulonimbus (cumulonimbus) yang menjulang tinggi di wilayah itu," demikian diungkap Kepala Lapan, Thomas Djamaluddin. Thomas menambahkan, ada kemungkinan pesawat menghadapi guncangan hebat. "Karena tidak mungkin menghindari turbulensi di dalam awan tebal dan sangat dinamis itu,"[7].
            Selasa siang, 30 Desember 2014, Kementerian Perhubungan menyatakan petugasnya telah menemukan cukup banyak serpihan berwarna merah dan putih di perairan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. "Serpihannya besar-besar terserak di tiga lokasi. Itu adalah serpihan pesawat," kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murjatmodjo di kantornya[8]. Menurut Djoko, lokasi serpihan berada di koordinat 03.52,50 S 110.30,53 E, 03.52,73 S 110.30,18 E, dan 03.52,62 S 110.29,39 E. Posisinya sekitar 100 mil barat daya Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Tak hanya serpihan pesawat, Kopilot pesawat Hercules C130 Letnan Satu Penerbang Erwin Tri Wibowo mengaku menemukan tubuh manusia di Selat Karimata, Kalimantan Barat.
Tim SAR memulai evakuasi jenazah dari laut di seputar Pangkalan Bun dalam pencarian AirAsia QZ8501, yang hilang dengan 162 orang di pesawat. Cuaca buruk menghambat upaya pencarian dan evakuasi. Tim penyelamat beberapa kali harus kembali ke darat dengan tangan kosong. Tapi akhirnya beberapa jenazah berhasil dievakuasi. Lebih dari 40 penyelam Kopaska diterjunkan ke perairan Pangkalan Bun. Tugas utama mereka adalah menjangkau lokasi sisa badan pesawat yang tenggelam serta mengevakuasi korban. Sulitnya medan evakuasi yang berada di dalam samudra menyebabkan para korban terlambat ditemukan. Korban berhari-hari tenggelam atau mengapung di lautan. Semakin lama di dalam air, kondisi tubuh korban akan semakin rusak. Karena itu, proses pengambilan jenazah tidak bisa sembarangan. Teknik khusus mengevakuasi jenazah yang sudah terlalu lama di dalam air dengan merangkul tubuh korban dengan lembut dan membawanya berenang dengan memeluk bagian kerah atau lehernya, agar jenazah bisa dikembalikan kepada keluarga dalam kondisi yang baik[9].
Fakta lain muncul terkait jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyatakan, AirAsia QZ 8501 terbang ke Singapura tanpa izin. Izin terbang bagi pesawat berasal dari otoritas penerbangan Kementrian Perhubungan (Kemenhub) mutlak harus dimiliki sebelum terbang. Izin tersebut mutlak karena prinsipnya semua yang bergerak di udara suatu negara harus atas sepengetahuan otoritas yaitu Kemenhub dan militer. Karena semua ruang udara kita adalah wilayah militer, kecuali yang sudah diizinkan untuk dilalui oleh pesawat yang diizinkan.
Kelaikan rute ini penting karena pesawat terbang ke manapun hanya diizinkan terbang pada rute dengan ketinggian yang tlh ditetapkan. Kelaikan slot terkait dengan kepadatan lalu lintas penerbangan bandara asal juga kepadatan pendaratan di bandara tujuan. Penilaian kelaikan tersebut berlaku untuk semua pesawat yang akan terbang, baik yang berjadwal maupun yang tidak. Terkait dengan pemberian izin pesawat berjadwal, selain faktor kelaikan tadi juga ditambah analisis kelayakan. Aspek kelayakan terhadap rute terjadwal mencakup analisis jumlah penumpang dan kemampuan perusahaan airline. Ini penting untuk menghindari persaingan tidak sehat antar perusahaan airline demi menjaga kualitas pelayanan dan keselamatan[10]. Atas pertimbangan itulah maka tidak bisa dipungkiri terjadinya persaingan perusahaan airline memperebutkan rute gemuk. Semua penilaian terhadap kelaikan dan kelayakan untuk mendapatkan izin tersebut menjadi kewenangan regulator CG. Kemenhub. Di Indonesia, terdapat 3 operator yang terkait dengan pelaksanaan izin terbang yang dikeluarkan otoritas penerbangan cq. Kemenhub. Ketiga operator tsb, (1) perusahaan air line, (2) pengelola/perusahaan bandara, dan (3) perum pengelola Navigasi/ATC.
Permasalahan tersebut semakin dikaitkan dengan penerbangan murah atau  Low Cost Carrier (LCC) yang dianggap persaingan antar maskapai dengan saling menjatuhkan harga dianggap berdampak pada menurunnya standar penerbangan di Indonesia atas alasan penghematan operasional. Kini Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan merombak posisi eselon I, II dan III dan sudah menandatangani peraturan tarif batas bawah tiket penerbangan[11]. Kebijakan tersebut diharapkan membuat maskapai lebih peduli terhadap aspek keselamatan penumpangnya.Dengan dikeluarkannya kebijakan tarif dasar bawah atau tarif terendah layanan maskapai penerbangan maka otomotis semua perusahaan penerbangan di indonesia seperti Garuda,Lion, Sriwijaya dll harus mengikuti peraturan kementerian perhubungan tersebut .
Selain mencari jasad korban sebagai fokus utama, titik terang mulai muncul terkait misteri jatuhnya pesawat Air Asia dengan ditemukannya ekor pesawat. Bagian ini biasanya disimpan kotak hitam pesawat. Analisa kotak hitam, yang terdiri dari perekam data-data penerbangan dan perekam suara kokpit, diharapkan bisa menerangkan apa yang terjadi sehingga pesawat tipe Airbus A-320-200 itu jatuh. Tim penyelam yang menyelidiki pecahan ekor pesawat di dasar laut tidak menemukan kotak hitam AirAsia QZ 8501. Tapi untuk pertama kalinya, tim pencari menangkap sinyal ping sekitar 300 meter dari lokasi ekor pesawat. Bagian ekor AirAsia yang ditemukan di dasar laut akhirnya berhasil diapungkan dengan menggunakan balon gas khusus. Tadi sekitar pukul 11.48 WIB sudah di permukaan pada hari Sabtu, 10 Januari 2015. Ekor Air Asia QZ8501 ditemukan di titik koordinat 03 derajat 38' 36" S dan 109 derajat 43' 42" T.
Tim penyelam Angkatan Laut yang beroperasi bersama Kapal Negara Jadayat menerangkan telah menemukan kotak hitam pesawat AirAsia QZ8501. Koordinator Tim Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, A Tonny Budiono dalam siaran persnya menyatakan hari Minggu (11/01), kotak hitam itu ditemukan di koordinat 03.37.21 S atau 109.42.42 E dengan kedalaman sekitar 30-32 meter. Bersamaan dengan itu, ditemukan juga badan pesawat yang menghimpit kotak hitam. Kondisi ini membuat penyelam kesulitan untuk mengambilnya. Karena keterbatasan waktu, tim memutuskan mengambil black box Senin 12 Januari 2015. Skenario proses pengambilan kotak hitam dilakukan dengan menggeser berlahan-lahan serpihan badan pesawat. Guna memudahkan pengambilan kotak hitam, tim penyelam TNI AL telah memasang Marker Buoy kecil yang sebelumnya telah disiapkan di KN Jadayat.
Basarnas menyatakan satu bagian black box, yaitu Flight Data Recorder (FDR)yang mencatat data-data penerbangan telah ditemukan dan diangkat. Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya FHB Soelistyo mengatakan, Flight Data Recorder AirAsia QZ8501 ditemukan di bawah puing-puing sayap pesawat. Satu hari setelahnya, sekitar 1,7 mil laut dari lokasi ditemukannya ekor pesawat. Badan SAR Nasional (Basarnas) menerangkan sudah menemukan perekam suara kokpit (Cockpit Voice Recorder, VCR) dan segera dibawa ke Jakarta untuk investigasi.
Setelah ditemukannya lokasi badan pesawat Air asia, Badan SAR Nasional menyiapkan skenario evakuasi badan pesawat AirAsia QZ8501. Menurut Direktur Operasional Basarnas, Marsekal Pertama SB Supriyadi, langkah pertama adalah tim penyelam mengalkulasi luas dan berat badan pesawat yang telah tertimbun lumpur itu. Selanjutnya, sebelum pengangkatan, tim penyelam mengikat sekeliling badan pesawat, semisal dengan tali sling. Selain itu, juga bisa dengan memberi bantalan di badan pesawat sebelum pengangkatan. "Seperti pengangkatan ekor pesawat kemarin butuh waktu dua hari hanya untuk mengikatnya. Itu pun juga ada yang jatuh," kata Supriyadi di Pangkalan Bun.
Pengangkatan potongan badan pesawat akan dilakukan dengan lifting bag (balon pengapung) dan crane. Namun, sebelum pengangkatan dilakukan, tim penyelam direncanakan melakukan pengangkatan satu per satu jenazah dari dalam badan pesawat dahulu yang diperkirakan masih banyak yang terperangkap. "Kalau main body (badan utama) enggak bisa langsung angkat. Pertama, mayatnya dievakuasi satu per satu. Nanti, kami siapkan kerekan dari atas, angkat satu per satu. Lalu (jenazah) dimasukkan ke kantong dulu biar enggak terbawa arus. Nanti orangnya bisa bergantian menyelam biar cepat," tuturnya[12].

"Insiden ini tidak boleh semata dianggap tanggung jawab penyedia jasa penerbangan. Namun, yang utama bahwa tanggung jawab keselamatan dan keamanan penerbangan adalah tanggungjawab negara," kata Irmansaputra[13]. Bagaimanpaun penerbangan adalah termasuk bumi (ruang udara) di atasnya dan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara (pasal 33 UUD 1945). Karena itu, kata Irmansaputra, UU No 1/2009 Tentang Penerbangan menyebutkan bahwa yang bertanggung jawab akan keselamatan dan keamanan penerbangan adalah menteri yakni Menteri Perhubungan[14]. Namun di sisi lain, legislasi di bidang penerbangan harus segera ditinjau. Karena UU Penerbangan 2009 ini paradigma hukum akan keselamatan dan keamanan penerbangan adalah negara sebagai stelsel pasif bukan aktif. Jika penerbangan dikuasai negara (Pasal 33 UUD 1945), maka negara tidak cukup hanya menempatkan pemerintah sebagai pembina dalam penataan fungsi negara dalam penerbangan yang kemudian diberi peran hanya pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Melainkan melakukan pengelolaan, kebijakan, pengurusan secara aktif guna menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan. Negara tidak boleh hanya menjadi tukang stempel akan sistem manajemen keselamata atau keamanan penerbangan belaka seperti UU Penerbangan 2009. Semoga kita dapat mengambil pelajaran di balik insiden penerbangan Air Asia QZ8501 ini.





[7] Ibid.

[14] Ibid