Konflik yang terjadi antar warga desa akhir-akhir ini semakin sering
menjadi pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik. Beragamnya
masalah konflik yang timbul mulai dari masalah yang sepele, saling mengejek
antar pemuda, sampai persoalan perbedaan pendapat dan pandangan antar warga
desa akhir ini patut dijadikan sebagai bahan renungan bersama.
Salah satu potensi konflik yang terjadi pada masyarakat desa secara
langsung dan terbuka adalah antara warga dusun (masyarakat kampung) dengan
warga perumahan (masyarakat pendatang) sebagai masyarakat desa transisi.
Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di
perumahan dan permukiman baru di daerah pinggiran kota atau pinggiran pedesaan
yang terjadi interaksi sosial sehingga terjadi tumpang tindih nilai-nilai
tradisional peralihan menuju nilai-nilai modern.
Pada masyarakat desa transisi, peluang konflik antara warga perumahan
dengan warga dusun tersebut bisa terjadi akibat dari adanya pihak ketiga, yakni
pihak developer perumahan dalam pembangunan sarana dan prasarana yang selalu
mengabaikan pembangunan di dusun, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial warga
dusun, kurang memberikan peluang integrasi sosial antara warga perumahan
dengan warga dusun, serta kesempatan peluang kerja bagi warga dusun sebagai
masyarakat asli yang sudah lama bertempat tinggal di desa tersebut.
Proses memudarnya nilai kerukunan itu disebabkan
berbagai faktor, misalnya: masuknya nilai-nilai kapitalisme, perubahan sosial
budaya, migrasi, urbanisasi, dan lain-lain. Selain itu pada era globalisasi dan informasi telah
terjadi perubahan pada berbagai aspek yang mendorong keterbukaan pada hampir di
semua aspek dan sistem kehidupan manusia, termasuk pada masyarakat desa.
Pengaruh globalisasi ini antara lain menyebabkan terbentuknya masyarakat desa
transisi. Masyarakat desa transisi merupakan masyarakat yang di dalamnya
terdapat masyarakat asli yang sudah secara turun temurun tinggal di desa
tersebut dan masyarakat pendatang yang baru bertempat tinggal di desa tersebut.
Karakteristik masyarakat desa transisi ini meliputi:
1. Terjadinya tumpang tindih antara
nilai-nilai tradisional dengan proses modern.
Maksud dari karakteristik
tersebut yakni telah terjadi pola
campuran antara nilai-nilai tradisional dengan proses modern. Disatu sisi
nilai-nilai modern yang mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat desa untuk
meninggalkan nilai-nilai tradisional, di sisi lain nilai-nilai tradisional yang
positif harus bisa dipertahankan dan tidak harus dihilangkan, akan tetapi
dikelola secara proporsional dan fungsional, seperti nilai-nilai
solidaritas pada masyarakat perdesaan di Jawa, tradisi soyo (membantu
membangun atau merenovasi rumah tetangga tanpa dibayar upah), tradisi ngelayat
(mendatangi keluarga tetangga yang ditimpa musibah meninggal), tradisi rewang
(membantu tenaga tetangga yang punya hajatan), tradisi klontang (memberi
sumbangan uang kepada tetangga yang ditimpa musibah kematian dimasukkan ke
dalam kardus aqua atau kaleng), tradisi buwuh (memberikan sumbangan uang
pada tetangga/warga yang menyelenggarakan hajatan), dan tradisi lainnya.
2. Masyarakat menjadi heterogen, seperti: tingkat
pendidikan, perkerjaan, dan kepercayaannya.
3. Terjadinya pembangunan perumahan baru di desa pinggiran
yang tidak memperhatikan kondisi masyarakat sekitar, mengakibatkan bisa
terjadinya pertentangan antara nilai-nilai yang dibangun masyarakarat pendatang
dengan masyarakat asli, dan kecemburuan sosial.
4. Kawasan desa pinggiran kota, kawasan di mana semakin
tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan industri, perdagangan, dan perumahan
yang membawa dampak positif, yakni memberikan kesempatan kerja non pertanian
bagi masyarakat di wilayah tersebut dan sisi negatifnya terjadi konflik antara
masyarakat asli dan pendatang.
5. Masyarakat desa yang mengalami peralihan dari mata
pencaharian di bidang agraris (pertanian) menuju mata pencaharian non
pertanian.
Kondisi tersebut umumnya terjadi di pedesaan, khususnya masyarakat desa yang letaknya di
pinggiran kota karena kemajuan komunikasi dan kecenderungan menjadi pusat
perdagangan serta lalu lintas komunikasi yang akan mengalami perubahan drastis.
Perubahan ini akan paling terasa pada masyarakat desa transisi tersebut dalam
pergeseran solidaritas.
Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat
secara sukarela dalam pembangunan di era sekarang ini perlu ditumbuhkan dari
interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural sehingga munculnya
kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya meliputi nilai-nilai seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada
akhirnya menumbuhkan kembali Integrasi sosial sebagai suatu proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam
kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang
memilki keserasian fungsi, dalam
bentuk solidaritas sosial. Karena solidaritas sosial adalah
kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok dan merupakan suatu
keadaan hubungan antara individu atau kelom-pok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat pengalaman
emosional bersama.
Solidaritas sosial adalah perasaan yang secara kelompok memiliki
nilai-nilai yang sama atau kewajiban moral untuk memenuhi harapan-harapan peran
(role expectation). Sebab itu prinsip solidaritas sosial masyarakat
meliputi: saling membantu, saling peduli, bisa bekerjasama, saling
membagi hasil panen, dan bekerjasama dalam mendukung pembangunan di desa baik
secara keuangan maupun tenaga dan sebagainya.
Tradisi solidaritas sosial yang telah ada pada masyarakat kita secara terus
menerus harus tetap dilestarikan dari generasi ke generasi berikutnya akan
tetapi karena dinamika budaya tidak ada yang statis, terjadilah beberapa
perubahan secara eksternal dan internal. Unsur kekuatan yang merubah adalah
modernisasi yang telah mempengaruhi tradisi solidarits sosial.
Selain itu perubahan solidaritas sosial tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain :
1. Meningkatnya
tingkat pendidikan anggota keluarga sehingga dapat berpikir lebih luas dan
lebih memahami arti dan kewajiban mereka sebagai manusia.
2. Perubahan
tingkat sosial dan corak gaya hidup kadang-kadang menciptakan
kerenggangan di antara sesama anggota keluarga.
3. Sikap egoistik, bila seseorang individu terlalu mementingkan diri sendiri
dan keluarganya, lalu mengorbankan kepentingan masyarakat.
Sedangkan bentuk perubahan solidaritas sosial yang telah terjadi
dalam masyarakat desa antara lain:
1. Adanya kecenderungan pada masyarakat kita, khususnya masyarakat desa
transisi pada warga asli dan warga pendatang berupa kecurigaan terhadap orang
lain yang dianggap sebagai lawan yang berbahaya, ini bisa mengakibatkan
terjadinya konflik antar kedua masyarakat tersebut.
2. Semakin menipisnya tingkat saling percaya dan tolong menolong dalam
kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan menurunnya rasa solidaritas sosial
dalam proses kehidupan.
Upaya memelihara solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan tidaklah semudah yang dibayangkan, karena solidaritas sosial
akan terus berkembang menuju kehidupan sosial yang modern. Mampukah masyarakat
desa, khususnya desa transisi beradaptasi dengan masuknya nilai-nilai yang
modern yang mementingkan sikap individualitas dan tidak mengandung nilai-nilai
kearifan lokal? sementara nilai budaya lokal yang dianut mengandung nilai-nilai
kearifan dan sejalan dengan nilai budaya yang ada. Pihak pengembang perumahan berkewajiban
mengontrol dan melakukan kerjasama dengan aparat
desa dan tokoh masyarakat di lingkungan
masing-masing terhadap proses sosial yang
berkembang dipemukiman baru, agar segala gejala negatif yang muncul dapat
segera diantisipasi, misalnya gejala
segregasi sosial (mengabaikan
kelangsungan sosial dan budaya karena
menurut perhitungan ekonomi dianggap
tidak menguntungkan developer), konflik sosial, dan dislokasi
sosial (perubahan pemukiman penduduk dalam jumlah besar dan waktu relatif
cepat) sehingga menimbulkan masalah sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar